Minggu, 08 November 2009

vaksin hepatitis

VAKSIN HEPATITIS

Pada dasarnya ada dua cara pendekatan terhadap suatu penyakit, mencegah atau mengobati. Data berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hepatitis B kronis terjadi akibat terinfeksi pada masa bayi dan anak-anak. Semakin muda usia terinfeksi VHB, semakin besar kemungkinannya menjadi hepatitis B kronis yang sampai saat ini masih belum ada pengobatan yang memuaskan. Keadaan ini akan meningkatkan risiko terjadinya sirosis dan hepatoma di kemudian hari. Oleh karena itu, pencegahan sedini mungkin sebaiknya segera dilakukan.
Dasar pemikiran dilakukannya imunisasi hepatitis B adalah karena fakta menunjukkan anti-HbsAg yang terbentuk setelah dilakukan vaksinasi merupakan antibodi humoral yang dapat mencegah tertularnya VHB. Dengan demikian imunisasi akan menurunkan angka kesakitan dan kematian serta berbagai macam manifestasinya akibat terinfeksi VHB. Secara tidak langsung imunisasi juga menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat sirosis dan kanker hati.
Berikut ini upaya pencegahan yang dapat dilakukan (Setiawan Dalimartha, 1998) :
a. Secara umum
Jangan menggunakan jarum suntik bekas, peralatan tato, dan jarum akupuntur yang tidak steril. Hindarkan pemakaian bersama peralatan pribadi seperti sikat gigi, pisau cukur, dan peralatan lainnya yang dapat menyebabkan kulit lecet atau luka.
b. Secara khusus
Lakukan imunisasi hepatitis B baik pasif maupun aktif. Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan hepatitis B Imunoglobulin (HBIg) yang akan memberikan perlindungan sampai 6 bulan. Imunisasi aktif dilakukan dengan vaksinasi hepatitis B. dalam beberapa keadaan, misalnya bayi yang lahir dari ibu penderita hepatitis B perlu diberikan HBIg mendahului atau bersama-sama dengan vaksinasi hepatitis B. HBIg yang merupakan antibodi terhadap VHB diberikan secara intramuskular dengan dosis 0,5 ml, selambat-lambatnya 24 jam setelah persalinan. Vaksin hepatitis B diberikan selambat-lambatnya 7 hari setelah persalinan. Untuk mendapatkan efektivitas yang lebih tinggi, sebaiknya HBIg dan vaksin hepatitis B diberikan segera setelah persalinan pada sisi yang berlawanan.
Sejak tahun 1980 telah beredar vaksin hepatitis B generasi pertama yang dibuat dari plasma darah pengidap HbsAG kronis. Vaksin VHB ini berasal dari protein selubung yang bersifat antigenik. Terdapat 3 macam protein yang dapat menginduksi antibodi spesifik, yaitu antigen S (mayor protein), antigen pre-S1 (large protein), dan antigen pre-S2 (middle protein). Untuk membentuk antibodi (antiHBs) diperlukan sel limfosit T penolong yang dapat mengenali antigen vaksin (HbsAg) yang masuk. Orang yang mempunyai sel limfosit T penolong yang dapat mengenal antigen vaksin sehingga dapat membuat antibodi disebut golongan responder. Adapun yang tidak mempunyai kesanggunpan mengenal antigen vaksin sehingga tidak dapat membuat antibodi disebut non-responder. Ketidakmampuan sel limfosit T penolong untuk mengenal antigen vaksin dapat diatasi dengan memakai vaksin yang mengandung antigen yang lebih besar yaitu pre-S1 dan pre-S2. Jadi, vaksin hepatitis B yang mengandung pre-S berguna untuk orang yang tergolong non-responder. Vaksin hepatitis B generasi kedua beredar kemudian dan berasal dari rekayasa genetika yaitu turunan ragi (Setiawan Dalimartha, 1998).
Sebagaimana diuraikan di atas, setiap orang mempunyai kemampuan berbeda-beda untuk membentuk zat anti (anti-HBs) terhadap vaksin hepatitis B yang disuntikkan. Ada yang tergolong responsif, hipo-responsif, dan non-responsif. Golongan non-responsif yaitu orang-orang yang tidak dapat membentuk anti-HBs setelah pemberian vaksin. Golongan ini diperkiran sebesar 2-5%. Dari jumlah tersebut, 40% diantaranya dapat diinduksi dengan vaksi ulangan, walaupun aya perlindungannya tidak tahan lama. Golongan hipo-responsif adalah orang yang mempunyai kadar anti-HBs < 10mlUI/ml setelah diberi vaksin. Pada golongan ini, vaksinasi ulangan akan memberi respon baik.
Vaksin hepatitis B dapat diberikan kepada semua orang termasuk wanita hamil, bayi baru lahir, maupun pasien-pasien immunocompromised, yaitu pasien dengan kelainan sistem imunitas seperti penderita AIDS. Penyuntikan vaksin dilakukan secara intramuskular. Tempat penyumtikan yang terbaik adalah pangkal lengan atas, tepatnya di musculus deltoideus pada orang dewasa dan anak-anak yang besar, pada bayi dianjurkan di paha. Suntikan harus benar-benar intramuskuler sebab bila diberikan secara subkutan dalam jaringan lemak akan menghambat penyarapan vaksin sehingga pembentukan antibodi menjadi rendah (Setiawan Dalimartha, 1998).
Efek samping yang mungkin timbul dapat berupa reaksi lokal ringan seperti rasa sakit pada bekas suntikan dan reaksi peradangan. Reaksi sitemik kadang timbul berupa panas ringan, lesu, dan rasa tidak enak pada saluran cerna. Gejala di atas akan hilang spontan dalam beberapa hari.
Vaksin hepatitis B telah terbukti sangat berkhasiat dalam pencegahan sebelum maupun sesudah (pasca-infeksi atau post exposure) terkena infeksi hepatitis B. vaksinasi sebelum terinfeksi (pra-infeksi atau pre exposure) diberikan kepada semua orang yang kontak dengan penderita atau pengidap VHB, termasuk kelompok risiko tinggi (high risk group) lainnya seperti tenaga kesehatan, petugas laboratorium, wanita tuna susila, orang yang membutuhkan transfusi darah berulang kali seperti penderita thallasemia dan hemofilia, penderita ketergantungan obat dengan cara suntikan (intravenous drug abuser), pasien yang melakukan cuci darah (hemodialisa), homoseksual, orang sering berganti partner sex, pasien calom operasi, pasien cabut gigi, dan orang yang tinggal di daerah endemis VHB dengan prevelansi tinggi. Pemberian pasca-infeksi digunakan untuk bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan HbsAg positif, trlebih lahi orang dengan HbeAg positif, dan mereka yang mengadakan kontak seksual dengan penderita hepatitis B (Setiawan Dalimartha, 1998).
Keberhasilan vaksinasi hepatitis B tergantung dari dosis antigen, usia, an status imun penerima vaksin (resipien). Telah diketahui bahwa dengan mengrangi dosis vaksin, serokonversi yang terjadi hampir sana yaitu 95%. Namun, semakin kecil dosis vaksin yang diberikan, titer antibodi yang terbentuk semakin rendah. Keadaan ini tentunya tidak memberi perlindungan yang lama. Semakin muda usia penerima vaksin, angka keberhasilan terbentuknya antibodi (Anti-HBs) semakin besar. Di atas umur 40 tahun, prevelansi terbentuknya zat anti (serokonversi) semakin berkurang. Pada resipien dengan status imun yang rendah seperti penderita hemodialisa, respon terbentuknya zat anti akan berkurang (Setiawan Dalimartha, 1998).
Sebelum seseorang divaksinasi hepatitis B perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium terlebih dahulu. Maksudnya untuk mengetahui apakah orang tersebut sudah mempunyai kekebalan terinfeksi VHB yang tanpa gejala atau sedang terinfeksi VHB. Test uji saring yang perlu dilakukan sebelum imunisasi adalah pemeriksaan HbsAg, anti-HBs, an anti-HBc. Oleh karena pemeriksaan tersebut biayanya mahal maka dalam praktek cukup dilakukan pemeriksaan HbsAg dan anti-Hbs dengan titer (Setiawan Dalimartha, 1998).
Dari hasil pemeriksaan akan diketahui tindakan imunisasi yang mesti diambil.
1. Apabila HbsAg – dan anti-HBs – maka diperlukan imunisasi lengkap denganvaksin hepatitis B.
2. Apabila HbsAg + dan anti-HBs – maka diperlukan pemeriksaan petanda serologis lainnya untuk menentukan apakah penderita terinfeksi hepatitis B akut atau pengidap. Jika benar maka orang tersebut tidak memerlukan imunisasi.
3. Apabila HbsAg – dan anti-HBs + dengan titer < 10mIU maka orang yang bersangkutan hanya memerlukan imunisasi satu kali (booster).
Anti-HBs dinyatakan mempunyai daya perlindungan (level seroprotektive) terhadap penularan infeksi virus hepatitis B bila nilai titernya > 10 mIU.
Setelah dilakukan imunisasi lengkap, dilakukan pemeriksaan anti-HBs satu bulan kemudian atau lebih. Pada saat itu diharapkan telah terbentuk anti-HBs dengan titer >10 mIU. Namun, kadang-kadang ditemukan juga anti-HBs – setelah imunisasi. Kelompok yang tidak responsif (non-responder) ini dapat dicoba dengan pemberian vaksin satu kali lagi atau memakai vaksin yang mengandung pre-S. Bila anti-HBs masih negatif maka tidak ada gunanya untuk memberikan imunisasi lebih lanjut. Kepada kelompok yang tidak responsif dengan imunisasi, dianjurkan pemberian HBIg bila mendapat kontak dengan VHB (Setiawan Dalimartha, 1998).


Daftar Pustaka :
Dalimartha, Setiawan. 1998. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Hepatitis. Jakarta : Penebar Swadaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar